Selasa, 26 April 2016



MAKALAH
“INTEGRASI NASIONAL”

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK  I
MOHAMAD DJALALUH UMMAH           61201113135
ADE SOPIAN                                                61201113113
ERRY CAHYA PERMANA                                    61201113126
MOCHAMAD SYAMSUL ARIFIN                        61201113134
SANDI AWALUDIN                                                61201113144
ADITIA SULISTIANTO                             61201113114
IWAN KASWANDA                                  61201113130

FAKULTAS EKONOMI
JURUSAN MANAJEMEN
UNIVERSITAS NURTANIO
BANDUNG
DAFTAR ISI



Daftar isi……………………………………………………………………             i
Daftar gambar………………………………………………………………             ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………...              1
A. Latar Belakang…...……………………………………………………...             1
B. Rumusan Masalah..……………………………………………………...             1
C. Tujuan Penulisan...……………………………………………………...              1
BAB II PEMBAHASAN………………………………………………                  3
A. Pengertian dan Makna Integrasi Nasional...…………………………....              3
B. Gambaran Integrasi Nasional di Indosesia……………………………...             8
C. Faktor Pendorong Terjadinya Integrasi Nasional……………………....              10
D. Faktor Penghambat Integrasi….…….………………………….............              11
E. Problematika dan Solusi dalam Integrasi Nasional……………………...             12
F. Upaya yang Dilakukan dalam Membangun Integrasi…………………...             14
BAB III PENUTUP………………………………………………………...                        23
A. Kesimpulan………………………...……………………………............             23
B. Saran……………………………….……………………………............             23
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...              24











DAFTAR GAMBAR



Gambar 1.Integrasi Nasional.…………....…………………………............             3
Gambar 2.Sumpah Pemuda……………....…………………………............            4
Gambar 3.Sumpah Pemuda……………....…………………………............            4
Gambar 4.Bhineka Tunggal Ika………....…………………………............              5
Gambar 5. Bhineka Tunggal Ika………....…………………………............             5
Gambar 6. Dimensi Intergrasi Bangsa....…………………………..............              6






















BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
Sebagai mana kita ketahui pengenalan budaya kita sangatlah kurang, anak muda zaman sekarang lebih mengetahui budaya luar yang dianggapnya lebih modern ketimbang tradisi dan budaya bangsa sendiri. Pengaruh budaya luar menyebabkan kurangnya pengetahuan kita mengenal proses tradisi dan budaya yang ada di Indonesia. Kurangnya pengetahuan akan hak dan kewajiban kita sebagai warga Negara yang mengakibatkan hilangnya rasa memiliki serta Nasionalisme terhadap Bangsa dan Negara Indonesia. Masing-masing individu lebih mementingkan kepentingannya sendiri tanpa ada rasa peduli terhadap sesamanya.
Sebagai warga Negara Indonesia yang baik, kita harus memiliki rasa persatuan dan kesatuan yang utuh dan bulat terhadap bangsa (integrasi nasional), yaitu suatu sikap peduli terhadap sesame serta memiliki rasa persatuan yang tinggi baik terhadap keluarga, bangsa, serta agama.
Dalam hal ini kami mencoba menjelaskan tentang makna integrasi nasional, sebab-sebab terjadinya integrasi serta upaya yang harus dilakukan dalam proses integrasi nasional

B.     Rumusan masalah
Rumusan masalah yang berkaitan dengan integrasi nasional, antara lain :
1.      Makna integrasi nasoinal.
2.       Gambaran integrasi nasional di Indonesia yang plural dan multikultural.
3.      Faktor-faktor pendorong terjadinya integrasi.
4.      Faktor-faktor penghambat integrasi.
5.      Upaya-upaya yang dilakukan  dalam membangun integrasi.

C.    Tujuan penulisan
1.      Mengetahui makna dari integrasi
2.      Mengetahui gambaran integrasi nasional di Indonesia yang plural dan multikultural
3.      Mengetahui faktor-faktor pendorong terjadinya integrasi
4.      Mengetahui faktor-faktor penghambat integrasi
5.      Mengetahui upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam membangun integrasi.


























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian dan Makna Integrasi Nasional
Integrasi nasional mempunyai dua pengertian dasar, yakni integrasi dan nasional. Integrasi berasal dari kata Latin yakni integrate yang berarti memberi tempat dalam suatu keseluruhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi berarti pembauran hingga menjadi kesatuan yang bulat dan utuh.
Kata Nasional berasal dari kata nation (Inggris) yang berarti bangsa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Integrasi nasional mempunyai arti sebagai berikut.
·         Secara politis, integrasi berarti proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah nasional yang membentuk suatu identitas nasional.
·         Secara antropologis, integrasi berarti proses penyesuaian di antara unsur-unsur kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan masyarakat.
Howard Wriggins, seorang ahli sosiologi, menyatakan bahwa pengertian nasional sudah mengandung adanya integrasi bangsa. Artinya, pernyataan unsur-unsur yang berbeda-beda dari suatu masyarakat menjadi kesatuan yang lebih utuh. Atau dengan kata lain, nasional berarti berpadunya unsur-unsur masyarakat yang kecil dan banyak jumlahnya itu menjadi satu kesatuan bangsa.

             Integrasi= hasrat bersatu sebagai satu kesatuan bangsa

  Berangkat dari pengertian-pengertian di atas, dapat kita simpulkan bahwa integrasi nasional bangsa indonesia adalah hasrat dan kesadaran untuk bersatu sebagai satu bangsa yakni bangsa indonesia. Hasrat dan kesadaraan untuk bersatu sebagai satu kesatuan bangsa itu resminya direalisasikan dalam satu kesepakatan atau konsensus nasional melalui sumpah pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
 Kami putra dan putri Indonesia mengaku :
bertanah air satu, tanah air indonesia.
berbangsa satu, bangsa Indonesia.
berbahasa satu, bahasa Indonesia.

Sumpah pemuda sebagai konsensus awal dari integrasi nasional Indonesia

Kemauan untuk bersatu itu disadari benar oleh para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia, karena mereka menyadari begitu heterogennya masyarakat dan budaya bngsa ini. Itulah sebabnya bentuk negara sebagai salah satu perwujudan integrasi nasional adalah negara kesatuan republik indonesia. Adapun perwujudan integrasi nasional masyarakat dan budaya bangsa Indonesia yang heterogen itu diungkapkan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda suku bangsa, agama, budaya daerah, tetapi tetap satu bangsa. Istilah Bhineka Tunggal Ika pertama kali diungkapkan oeh seorang empu yang terkenal di Kerajaan Majapahit, yaitu Empu Tantular, dala kitabnya Sutasoma.
Bhineka tunggal ika sebagai perwujudan dari integrasi bangsa Indonesia

Di Indonesia istilah integrasi sering disamakan dengan istilah pembauran atau asimilasi, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan, integrasi diartikan dengan integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralism sosial. Sementara pembauran atau asimilasi, dapat diartikan penyesuaian antar dua atau lebih kebudayaan yang meliputi beberapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis)
Dengan demikian integrasi nasional dapat diartikan juga sebagai penyatuan bagian-bagian yang berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu kesatuan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa (ICCE,2007). Masalah integrasi nasional di Indonesia sangatlah komplek dan multidimensional. Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan serta kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, gender dan sebagainya. Sebenarnya untuk membangun keadilan, kesatuan, dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik disamping upaya lainnya, seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam menentukan komposisi dan mekanisme parlemen
Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu dilakukan terus agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan. Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu, karena pada hakikatnya tidak lain menunjukan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa yang diinginkan (Mahfud, 1993). Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat menjamin terwujudnya Negara yang makmur, aman, dan tentram. Jika melihat konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan barat, dan Papua merupakan cermin belum terwujudnya integrasi nasional yang diharapkan selama ini.
Jika pada masa orde baru ancaman bagi integrasi nasional Indonesia cenderung dating dari akumulasi kekecewaan daerah terhadp pusat, atau konflik yang bersifat vertical, maka dewasa ini kekerasan dan konflik horizontal menjelma menjadi ancama serius bagi integrasi nasional. Kuatnya tradisi dominasi kekuatan politik otoriter sebagai pemaksa utama integrasi nasional menimbulkan kekhawatiran atas kemampuan bangasa ini untuk mengelola perbedaan serta mengatasi konflik internal.
Untuk keluar dari berbagai permasalahan mengenai konflik dan integrasi nasional diteliti sisi lain dari konflik, menurut Dahrendorf, bahwa konflik juga dilihat sebagai mekanisme alamiah dalam konteks rekontruksi sosial untuk mencari keseimbangan baru dalam masyarakat. oleh karena itu jika mengacu pada sisi tersebut, analisa terhadap konflik kekerasan yang kini terjadi mengarah pada usur-unsur disintegrasi seperti sedikitnya kepercayaan sosial dan ambruknya nilai-nilai kemanusiaan.
Unsur disintegrasi tersebut dapat dihilangkan dengan cara melakukan transformasi konflik, yaitu menyalurkan energi positif kepada saluran-saluran alternatife yang akan mengelola konflik tersebut guna mengatasi komplikasi antara konflik kekerasan, politik identitas dan konsolidasi demokrasi. Diperlukan komitmen politik dari para elit politik untuk memulai suatu proyek jangka panjang guna merumuskan suatu strategi dan taktik proses nation building untuk membangun kultur baru bangsa yang mengapresiasi perbedaan sebagai modal sosial juga karakteristik bangsa.
Karakteristik yang menjadi sifat dasar dari sebuah masyarakat majemuk menurut Van Den Berghe yaitu sebagai berikut:
a.       Terjadinya segmentasi (pemisahan) ke dalam bentuk kelompok-kelompok;
b.      Memiliki struktur sosial yang terbagi-bagi dalam lembaga-lembaga.
c.       Kurang mengurangkan konsensus-konsesus (kesepakatan) diantara para anggota masyarakat.
d.      Secara relatif sering kali terjadi konflik diantara kelompok lain;
e.       Secara relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
Sifat-sifat yang demikian itulah maka Van Den Berghe menyantakan bahwa betapa masyarakat majemuk tidak dapat di golongkan begitu saja ke dalam salah satu diantara dua jenis masyarakat, sedangkan Emile Durkheim dengan mengunakan terminologinya yaitu istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisis masyarakat keseluruhannya (bukan organisasi-organisasi masyarakat).
Untuk lebih memperjelas, kita lihat pandangan para penganut funsionalisme struktural didalam melihat bagaimana suatu sistem sosial itu berintegrasi. Mengikuti pandangan mereka, suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi diatas landasan dua hal, yaitu :
a.         Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi diatas tumbuhnya konsensus diantara sebagian besar anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental;
b.        Suatu masyarakat senantiasa terintegrasi juga oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus juga anggota dari berbagai kesatuan sosial.

B.     Gambaran Integrasi Nasional di Indonesia
Manusia hidup dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang majemuk (plural society). Corak masyarakat Indonesia adalah ber-Bhineka Tungal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan keanekaragaman kebudayaan yang berada dalam masyarakat Indonesia. Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia dilihat memiliki suatu kebudayaan yang berlaku secara umum dalam masyarakat.
Masyarakat yang plural merupakan “belati” bermata ganda dimana pluralitas sebagai rahmat dan sebagai kutukan. Pemahaman pluralitas sebagai rahmat adalah keberanian untuk memerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan hanya dengan kompetensi keterampilan, melainkan lebih banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh.
Sedangkan pluralitas sebagai kutukan akan menimbulkan sikap penafian terhadap yang lain, baik individu ataupun kelompok, karena dianggap berbeda dengan dirinya, dan perbedaan dianggap menyimpang atau salah. Penafian terhadap yang lain, pada hakekatnya adalah pemaksaan keseragaman dan menghilangkan keunikan jati diri yang lain, baik individu atau komunitas.
Menurut Suparlan yang mengutip dari Fay,  Jary dan J. Jary dalam acuan utama masyarakat yang multikultural adalah multikulturalisme, yakni sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam  kesederajatan baik secara individu ataupun secara kebudayaan.
Multikulturalisme secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata multikultural kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan multilingual.
Multikulturalisme ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme” berisi tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial, ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua ciri utama yakni :
1.    kebutuhan terhadap pengakuan ( the need of recognition).
2.    legitimasi keanekaragaman budaya atau pluralisme budaya.
Masyarakat yang adil bukanlah hanya menjamin the greatest good for the greates number yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada self interest dan aspirasi pengenal dari seseorang.
Manusia dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi untuk memaksimalkan kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip yakni :
1.    Setiap manusia harus memiliki maksimum kebebasan individual
       dibandingkan orang lain.
2.    Setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah memberikan keuntungan
       kemungkinan bagi yang tidak memperoleh keberuntungan.
 Menurutnya institusional yang menjamin kedua prinsip tersebut adalah demokrasi konstitusional.
 Azyumardi Azra mengatakan, bahwa konsep kerangka masyarakat multikultural dan multi kulturalisme secara subtantif tidaklah terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhineka Tunggal Ika, yang mencerminkan bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi ke-ikaan dan persatuan.
Walaupun multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mendesain kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang  Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang asing. Konsep multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan. Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan yang mengandung ideologi, politik, demokrasi, penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral dan peningkatan mutu produktivitas.
Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah berdiri sendiri terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme memerlukan konsep bangunan untuk dijadikan acuan guna memahami mengembangluaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam memahami multiklturalisme, diperlukan landasan pengetahuan berupa konsep-konsep yang relevan  dan mendukung serta keberadaan berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan.
Akar dari multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep kebudayaan yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan multikulturalisme merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu kebudayaan harus dilihat dari perfektif fungsinya bagi manusia.

C.    Faktor Pendorong Terjadinya Integrasi
Adapun faktor-faktor pendorong integrasi nasional sebagai berikut
a.       Faktor sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
b.      Keinginan untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
c.       Rasa cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
d.      Rasa rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
e.       Kesepakatan atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa Indonesia.
f.       Adanya simbol kenegaraan dalam bentuk Garuda Pancasila, dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.
g.      Pengembangan budaya gotong royong yang merupakan cirri khas kepribadian bangsa Indonesia secara turun temurun.

D.    Faktor Penghambat Integrasi
Adapun faktor-faktor penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
1.      Masyarakat Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan sebagainya.
2.      Wilayah negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3.      Besarnya kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4.      Masih besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5.      Adanya paham “etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
6.      Lemahnya nilai-nilai budaya bangsa akibat kuatnya pengaruh budaya asing yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa, baik melewati kontak langsung maupun kontak tidak langsung.
7.      Kontak langsung, antara lain melalui unsur-unsur pariwisata, sedangkan kontak tidak langsung, antara lain melalui media cetak (majalah, tabloid), atau media elektronik (televisi, radio, film, internet, telepon seluler yang mempunyai fitur atau fasilitas lengkap).
E.     Problematika dan Solusi dalam Integrasi Nasional
1.      Problematika
Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multidimensional. Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal dan horizontal sebagai akibat tuntutan demokrasi yang melampaui batas, konflik antara elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta kesiapan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Problematika dalam integrasi nasional dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut :
a)      Geografi. Letak Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Daerah yang berpotensi untuk memisahkan diri adalah daerah yang paling jauh dari ibu kota, atau daerah yang besar pengaruhnya dari negara tetangga atau daerah perbatasan, daerah yang mempunyai pengaruh global yang besar, seperti daerah wisata, atau daerah yang memiliki kakayaan alam yang berlimpah.
b)      Demografi. Pengaruh (perlakuan) pemerintah pusat dan pemerataan atau penyebaran penduduk yang tidak merata merupakan faktor dari terjadinya disintegrasi bangsa, selain masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan SDM.
c)      Kekayaan Alam. Kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam dan berlimpah dan penyebarannya yang tidak merata dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa, karena hal ini meliputi hal-hal seperti pengelolaan, pembagian hasil, pembinaan apabila terjadi kerusakan akibat dari pengelolaan.
d)     Ideologi. Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah didalam terjadinya konflik di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama yang dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan bijaksana pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi bangsa, oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama secara berkesinambungan.
e)      Politik. Masalah politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut berbagai ketidak nyamanan atau ketidak tenangan dalam bermasyarakat dan sering mengakibatkan konflik antar masyarakat yang berbeda faham apabila tidak ditangani dengan bijaksana akan menyebabkan konflik sosial di dalam masyarakat. Selain itu ketidak sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan pada pemerintah daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang akhirnya timbul konflik sosial karena dirasa ada ketidak adilan didalam pengelolaan dan pembagian hasil atau hal-hal lain seperti perasaan pemerintah daerah yang sudah mampu mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari pemerintah pusat, konflik antar partai, kabinet koalisi yang melemahkan ketahanan nasional dan kondisi yang tidak pasti dan tidak adil akibat ketidak pastian hukum.
f)       Ekonomi. Krisis ekonomi yang berkepanjangan semakin menyebabkan sebagian besar penduduk hidup dalam taraf kemiskinan. Kesenjangan sosial masyarakat Indonesia yang semakin lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dan adanya indikasi untuk mendapatkan kekayaan dengan tidak wajar yaitu melalui KKN.
g)      Sosial Budaya. Pluralitas kondisi sosial budaya bangsa Indonesia merupakan sumber konflik apabila tidak ditangani dengan bijaksana.  Tata nilai yang berlaku di daerah yang satu tidak selalu sama dengan daerah yang lain. Konflik tata nilai yang sering terjadi saat ini yakni konflik antara kelompok yang keras dan lebih modern dengan kelompok yang relatif terbelakang.
h)      Pertahanan Keamanan. Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini menjadi bersifat multi dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, hal ini seiring dengan perkembangan  kemajuan  ilmu  pengetahuan   dan   teknologi,   informasi dan komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan bentuk ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.

2.      Solusi
Untuk mewujudkan integrasi nasional diperlukan keadilan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, gender, dan sebagainya. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan, dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik disamping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam menentukan komposisi dan mekanisme parlemen.
Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut :
a)      Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b)      Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya tindakan KKN.
c)      Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari ancaman luar.
d)     Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
e)      Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
f)       Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.

F.     Upaya yang Dilakukan dalam Membangun Integrasi
Menurut Liddle, suatu integrasi nasional yang tangguh dapat
berkembang apabila :
1.      Sebagian besar anggota masyarakat suatu bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial dari Negara sebagai suatu kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya
2.      Sebagian anggota masyarakat suatu bangsa bersepakat mengenai struktur pemerintahan serta aturan-aturan dari pada proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat diatas wilayah Negara.
Dengan perkataan lain, suatu integrasi nasional yang tangguh
akan berkembang diatas konsesus nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat tersebut serta harus memilik
1.      Kesadaran dari sejumlah orang bahwa mereka bersama-sama merupakan arga dari suatu bangsa.
2.      Konsensus nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsaharus diwujudkan atau diselenggarakan.
Konsesus nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa harus diwujudkan atau diselenggarakan harus ditemukan dalam proses pertumbuhan Pancasila sebagai dasar Falsafah atau idiologi Negara. Secara yuridis formal, pancaila sebagai dasar falsafah Negara, pada tingkat yang sangat umum telah diterima sebagai kesepakatan nasional serta lahir bersamaan dengan kelahiran Negara Republik Indonesia sebagai Negara yang merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain. Di dalam kenyataan, pancasila menjadi akar dala sejarah pertumbuhan gerakan nasionalisme.
Bangsa Indonesia sebetulnya dapat belajar dari pengalaman Negara-negara lain dan dari Negara kita sendiri tentang akibat menguatnya primordialisme, sehingga keberadaan dan peguatan lembaga-lembaga integrative seperti sistem pendidikan nasional, birokrasi spil dan militer, partai-partai politik (idiologi nasionalisme yang dapat menjembatani perbedaan etnik yang tajam, sedangkan partai etnik tidak berhasil) harus tetap dilaksanakan mengingat bahwa hal ini adalah sebagai konsensus dari masyarakat kita yang majemuk.
Perlunya lembaga-lembaga pemersatu melalui state building. Adapun uraian secara singkat tentang lembaga pemersatu yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Birokrasi Sipil dan militer
        Lembaga integratif yang paling dominan dan paling penting yang mutlak diperlukan adalah kekuatan militer (TNI), yang jika diperlukan dapat memakai penguasaan dan monopolinya atas peralatan perang dan peraltan utama system pesenjataan untuk mempertahankan dan bahkan untuk membangun negar danbangsa. Dalam kerangka pemikran tradisional bahkan gejala universal kaum militer di dunia, peranan militer sebagai benteng terakhir (mean of the last reort) mempertahankan kebutuhan Negara dan bangsa. Hal ini dapat dari sikap keras militer terhadap gerakan-gerakan separatis maupun kedaerahan (primordialisme)
        Selain birokrasi militer, proses state building juga mencakup birokrasi sipil yang mempunyai tugas utama menarik pajak dan menyediakan bahan pokok khususnya bahan makanan untuk masyarakat, dalam pelaksanaanya birokrasi sipil dal militer saling berhubungan. Sebagai bangsa Indonesia kita mestinya bangga dengan TNI, karena apa? ternyata Indonesia memperoleh peringkat yang luar biasa dalam bidang kemiliteran. Jadi sebenarnya tidak beralasan kalau kita meremehkan tentara nasional kita. Menurut data yang diambil oleh World Military Strengh Ranking. Militer Indonesia berada pada posisi ke-14 dari seluruh negara di dunia ini, di atas negara-negara maju lainnya seperti Kanada, Australia, dsb.
Kembali kepada sejarah militer Indonesia, pengambilan alih kekuasaan oleh pihak militer di Indonesia sekiranya sudah lama diramalkan. Militer Indonesia tidak pernah jauh dari politik, sejak dari kemerdekaan pada tahun 1945. Organisasi nasional militer pun diperlukan untuk tugas yang maha penting yakni membangun suatu negara bangsa dari beribu-ribu pulau yang membentuk negeri ini.
Pada masa itu terjadi kompetisi politik antara Militer dan Partai Komunis Indonesia yang kadang kala bersifat keras, Komunis yang dalam hal ini sejak kemerdekaan ada dalam naungan Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno bersaing ketat dengan golongan elit militer. Dan puncaknya adalah terjadinya pemberontakan G30S/PKI.
Sampai munculnya Supersemar pada tanggal 11 Maret 1966, Soekarno dengan ikhlas memberi Jenderal Soeharto wewenang yang diperlukan untuk memulihkan keamanan. Soekarno yang pada saat itu dianggap sebagai presiden seumur hidup kini nyaris hanya merupakan lambang, sampai secara resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto pada tanggal 27 Maret 1968.
Setelah menjadi Presiden, Soeharto memandang tugasnya adalah : memulihkan tingkat partisipasi rakyat dalam pemerintahan, menstabilkan negeri yang secara politis terpecah belah, dan membangun perekonomian yang telah diabaikan. Maka untuk mendukung upaya tersebut Soeharto memutuskan untuk membentuk GOLKAR (Golongan Karya) atau kelompok yang fungsional, mencakup buruh, petani, birokrat sipil, birokrat militer, mahasiswa, dan intelegensia. Jika Soekarno ingin mengusahakan agar kelompok-kelompok fungsional tersebut terlepas dari militer, maka Soeharto lebih suka mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam kata lain Soeharto telah menyertakan militer dalam politik sembari memberi fungsi politik pada militer.
Sejak tahun 1959, menurut suatu penelitian, perwira-perwira angkatan darat secara kasar telah memegang seperempat dari semua portofolio kabinet maupun berbagai posisi penting pada departemen pemerintahan sipil. Pada tahun 1972, 22 dari 26 Gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat, dan 40% dari kepala desa.
Masuk ke Era Reformasi, setelah lengsernya Soeharto, maka kedigdayaan Militer dalam hal ini ABRI/TNI telah usai, Sejak itu nyaris tiada hari tanpa hujatan dan caci maki terhadap ABRI. Jika sebelumnya tidak ada yang berani mengusik, sejak itu keberadaan ABRI mulai banyak dipersoalkan. ABRI bukan cuma dipersalahkan, karena telah membuat banyak orang di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor Timur, kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga karena terlibat penculikan para mahasiswa dan aktivis politik, karena dianggap tidak mampu lagi mengatasi kerusuhan di berbagai tempat yang telah menelan korban ratusan nyawa sejak Mei 1998.
Saat ini ABRI harus menghadapi kenyataan sebaliknya yakni penolakan atas keterlibatannya. Secara historis keterlibatan ABRI tersebut harus dipahami dalam kerangka menjamin stabilitas nasional. Kalau mau jujur, sebenarnya bangsa dan negara manapun di dunia ini membutuhkan stabilitas demi pembangunan dan kemajuan bersama rakyatnya.
Menurut Jenderal Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalah hubungan sipil militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach, yaitu militer menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde baru; yang kedua, subjective civilian control, yaitu kontrol subyektif pemerintahan sipil terhadap militer seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari ABRI.
Dalam pengarahannya kepada peserta Lokakarya Kepemimpinan Pertahanan 2010 di Istana Negara, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak perlu lagi ada jarak antara militer dan non militer pada era demokrasi. Beliau juga menyatakan saat ini tidak perlu lagi ada dikotomi antara sipil dan militer dalam mengemban tugas untuk negara. "Dulu pernah ada jarak antara militer dan nonmiliter, antara mahasiswa di perguruan tinggi dan taruna di akademi. Tapi dengan era demokrasi ini dengan perubahan di TNI tidak lagi menjalankan politik praktis maka sudah tidak ada perbedaan," tutur Presiden.
Lalu, apakah artinya dalam konteks hubungan sipil-militer di Indonesia? Dalam sejarah Indonesia, dikotomi sipil-militer bukanlah satu isu baru. Jika sejauh ini ABRI terkesan tidak suka dan selalu mengelak adanya dikotomi sipil-militer di Indonesia, sikap semacam itu tidak lepas dari penafsiran diri ABRI dalam konteks sejarah Indonesia. ABRI juga mudah curiga kepada cendekiawan, seniman, aktivis LSM dan kalangan intelektual lain yang memang selalu sangat antusias memperbincangkan hubungan sipil-militer, yang selalu melemparkan isu-isu demokratisasi, kebebasan berpendapat dan HAM.
Namun, benar juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas antara ranah politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak jelas. Antara perang dan politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang adalah jalan lain dari politik. Ini lah yang terjadi pada awal pembentukan Indonesia.
Sejak awal kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil dan tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden Soekarno.
Satu hal yang perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan  bahwa militer Indonesia telah berkembang menjadi militer profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar "semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan kependidikan.
Tanggung jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan demikian, bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini ditafsirkan secara politis-ideologis, kini perlu dimaknai sebagai tanggung jawab profesional. Kalau dulu ABRI di identifikasi dan dikenal sebagai tentara rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI adalah tentara professional yang mengabdi kepada rakyat).
Namun, hal ini tidak berarti militer kehilangan peran politiknya. Peran politik TNI, menurut saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya yaitu pertahanan-keamanan negara, dan hal itu kini bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Peran tersebut cukup diletakkan pada tataran "kebijakan" (policy) di tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep kekaryaan seperti pada masa Orde Baru. Dengan demikian, militer bukan lah institusi untuk merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model kekaryaan. Jika ada militer yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan presiden, maka harus melepas jaket hijau-lorengnya.
Mereka adalah warga sipil, sehingga jabatan politik yang didudukinya bukan dalam kerangka doktrin dwifungsi, tapi sebagai hak politik setiap warga negara. Fungsi pertahanan keamanan sebagai TNI professional itu juga menuntut TNI untuk hanya punya komitmen dan tangung jawab moral terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI. Konsekuensi moral professional dari komitmen dan tanggung jawab moral ini adalah bahwa TNI hanya mempunyai loyalitas kepada Negara dan bukan kepada pemerintah. Loyalitas TNI kepada pemerintah hanya sejauh pemerintah yang berkuasa. Tidak perduli sipil atau militer, menjalankan kekuasaan negara sesuai dengan tuntutan dan cita-cita moral bangsa, yaitu demi menjamin kehidupan bersama yang demokratis, adil, makmur, berprikemanusiaan dan menjamin hak asasi manusia.
Maka tidak perlu dibicarakan lagi adanya civilian supremacy yang dianut dunia Barat, karena adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak sesuai dengan pandangan Panca Sila dan dapat menjadi benih konflik. Namun secara organisatoris dengan sendirinya setiap unsur negara harus menjalankan keputusan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. Maka tanpa ada ketentuan supremasi sipil dengan sendirinya TNI harus tunduk kepada segala kepatuhan dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah, siapapun yang duduk dalam pemerintah itu. Sebaliknya, sesuai dengan jati dirinya TNI wajib dan berhak menyampaikan pendiriannya kepada Pemerintah sekalipun mungkin pendirian itu berbeda dari pandangan Pemerintah. Dalam mengembangkan pendirian itu TNI harus selalu berpedoman pada Panca Sila dan Sapta Marga serta Sumpah Prajurit yang secara hakiki berarti bahwa TNI harus selalu memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang dalam masyarakat.
Yang sekarang diperlukan adalah tekad untuk melaksanakan proses ini secara konsisten dan sabar serta memelihara hasilnya secara terus menerus. Hubungan Sipil-militer yang dihasilkan kemudian akan merupakan faktor positif dalam perwujudan Ketahanan nasional Indonesia, termasuk pembinaan daya saing nasional bangsa kita.
2.      Partai Politik
Dalam sejarahnya Partai Politik merupakan alat mobilisasi vertikal yang lebih cepat dibandingkan dengan birokrasi nasional baik birokrasi sipil maupun militer.
Sistem Pemilu di Indonesia sekarang merupakan gabungan dari system distrik dan system proposional, sehingga perwakilan daerah dan etnik dapat tewakili. Maka partai politik mampu menjadi alat integrasi bangsa untuk menekan perlawan etnik yang minoritas.
3.      Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan nasional menjadi alat integrasi nasional terutama karena sifatnya yang menciptakan elite nasionalyang kohesif. Pendidikan nasional mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi menjadi alat pemersatu baik melalui kurikulum nasional, bahasa pengantar maupun sistem rekrutmen siswa, mahasiswa maupun tenaga pengajar yang bersifat nasional. Dalam suasana otonomi daerah sekarang ini diusahakan adanya ujian lokal tetapi yang berstandar nasional. Demikian juga walaupun ad aide untuk menambah muatan kurikulum local/kedaerahan, namun tetap kurikulum inti mengajarkan ilmu social dan humaniora yang besifat integratif dan nasional.
        Sifat integratif lainnya adalah pemakaian bahasa pengantar yakni bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional disamping penggunaan bahasa lokal/daerah yang diberlakukan untuk pendidikan tingkat SD/SLTP. Cara ini akan memudahkan integrasi ke dalam sistem nasional dan sosialisasi yang sama untuk seluruh warga negara.
Alat integrasi yang lain adalah rekrutmen siswa, siswa, dan tenaga pengajar yang bersifat nasional dan multi etnik, sehingga terjadi proses komunikasi sosialisasi, asimilasi dan kulturasi dari berbagai etnik di kalangan siswa, mahasiswa, dan tenaga pengajar.
4.      Kemajuan Komunikasi dan Transportasi
Peranan media masa nasional seperti koran, majalah, televisi (TVRI), pesawat radio (RRI) cukup penting di Indonesia yang dapat digunakan sebagai alat integrasi nasional. Bahkan sekarang ini banyak koran maupun media masa lainnya yang terbit di Jakarta tetapi penyebarannya menjangkau sampai ke seluruh kabupaten-kabupaten, begitu juga koran lokal yang mampu menembus pasar ke daerah lainnya. Alat komunikasi lainnya dalah telepon, yang mengalam perkembangan pesat sejak pemerintahan orde baru sampai sekarang.
Perkembangan yang cepat dalam bidang transportasi mengakibatkan terjadinya mobilitas geografis penduduk yang cepat, aman, nyaman, dan murah. Bentuk mobilitas penduduk dapat secara transmigrasi, migrasi maupun turisme baik antar daerah, nasional, regional bahkan global. Meningkatnya kegiatan mobilitas penduduk dan turisme nasional maupun lokal membawa dampak memperkuat rasa kesatuan dan kebangsaan.


























BAB III
PENUTUPAN

A.    Kesimpulan
1.      Integrasi nasional bangsa indonesia adalah hasrat dan kesadaran untuk bersatu sebagai satu bangsa yakni bangsa Indonesia, baik dari segi sosial, budaya, maupun agama.
2.      Pemahaman pluralitas sebagai rahmat adalah keberanian untuk memerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan hanya dengan kompetensi keterampilan, melainkan lebih banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang menyeluruh.
3.      Multikulturalisme bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakat Indonesia.
4.      Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal dan horizontal sebagai akibat tuntutan demokrasi yang melampaui batas, konflik antara elite politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta kesiapan pelaksanaan Otonomi Daerah.
5.      Untuk mewujudkan integrasi nasional diperlukan keadilan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, gender, dan sebagainya.
6.      Upaya membangun integrasi dengan adanya kesadaran dari setiap masyarakat serta perlunya kesadaran dari setiap masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara juga perlu adanya lembaga-lembaga pemersatu bangsa melalui state building.
B.     Saran
1.      Dengan kajian ini diharapkan bagi masyarakat khususnya mahasiswa dapat memahami integrasi nasional dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.
2.      Perlu adanya diskusi dan pembahasan lebih lanjut agar informasi yang lebih lengkap dan konfrehensif bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

DAFTAR PUSTAKA




http://buletinlitbang@dephan.go.id /18-11-2011/19:30








[3]  http://kumankutu.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-pendorong-dan-penghambat.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar