MAKALAH
“INTEGRASI
NASIONAL”


DISUSUN
OLEH :
KELOMPOK
I
MOHAMAD
DJALALUH UMMAH 61201113135
ADE
SOPIAN 61201113113
ERRY
CAHYA PERMANA 61201113126
MOCHAMAD
SYAMSUL ARIFIN 61201113134
SANDI
AWALUDIN 61201113144
ADITIA
SULISTIANTO 61201113114
IWAN
KASWANDA
61201113130
FAKULTAS
EKONOMI
JURUSAN
MANAJEMEN
UNIVERSITAS
NURTANIO
BANDUNG
DAFTAR
ISI
Daftar isi…………………………………………………………………… i
Daftar gambar……………………………………………………………… ii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………... 1
A. Latar Belakang…...……………………………………………………... 1
B. Rumusan Masalah..……………………………………………………... 1
C. Tujuan Penulisan...……………………………………………………... 1
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………… 3
A. Pengertian dan Makna Integrasi Nasional...………………………….... 3
B. Gambaran Integrasi Nasional di
Indosesia……………………………... 8
C. Faktor Pendorong Terjadinya Integrasi
Nasional…………………….... 10
D. Faktor Penghambat
Integrasi….…….…………………………............. 11
E. Problematika dan Solusi dalam Integrasi
Nasional……………………... 12
F. Upaya yang Dilakukan dalam Membangun
Integrasi…………………... 14
BAB III PENUTUP………………………………………………………... 23
A. Kesimpulan………………………...……………………………............ 23
B. Saran……………………………….……………………………............ 23
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………... 24
DAFTAR
GAMBAR
Gambar 1.Integrasi
Nasional.…………....…………………………............ 3
Gambar 2.Sumpah
Pemuda……………....…………………………............ 4
Gambar 3.Sumpah
Pemuda……………....…………………………............ 4
Gambar 4.Bhineka Tunggal
Ika………....…………………………............ 5
Gambar 5. Bhineka Tunggal
Ika………....…………………………............ 5
Gambar 6. Dimensi Intergrasi
Bangsa....………………………….............. 6
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Sebagai mana
kita ketahui pengenalan budaya kita sangatlah kurang, anak muda zaman sekarang
lebih mengetahui budaya luar yang dianggapnya lebih modern ketimbang tradisi
dan budaya bangsa sendiri. Pengaruh budaya luar menyebabkan kurangnya
pengetahuan kita mengenal proses tradisi dan budaya yang ada di Indonesia.
Kurangnya pengetahuan akan hak dan kewajiban kita sebagai warga Negara yang
mengakibatkan hilangnya rasa memiliki serta Nasionalisme terhadap Bangsa dan
Negara Indonesia. Masing-masing individu lebih mementingkan kepentingannya
sendiri tanpa ada rasa peduli terhadap sesamanya.
Sebagai warga
Negara Indonesia yang baik, kita harus memiliki rasa persatuan dan kesatuan
yang utuh dan bulat terhadap bangsa (integrasi nasional), yaitu suatu sikap
peduli terhadap sesame serta memiliki rasa persatuan yang tinggi baik terhadap
keluarga, bangsa, serta agama.
Dalam hal ini
kami mencoba menjelaskan tentang makna integrasi nasional, sebab-sebab
terjadinya integrasi serta upaya yang harus dilakukan dalam proses integrasi
nasional
B. Rumusan masalah
Rumusan masalah yang berkaitan
dengan integrasi nasional, antara lain :
1. Makna
integrasi nasoinal.
2. Gambaran integrasi nasional di Indonesia yang
plural dan multikultural.
3. Faktor-faktor
pendorong terjadinya integrasi.
4. Faktor-faktor
penghambat integrasi.
5. Upaya-upaya
yang dilakukan dalam membangun
integrasi.
C. Tujuan penulisan
1. Mengetahui
makna dari integrasi
2. Mengetahui
gambaran integrasi nasional di Indonesia yang plural dan multikultural
3. Mengetahui
faktor-faktor pendorong terjadinya integrasi
4. Mengetahui
faktor-faktor penghambat integrasi
5. Mengetahui
upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam membangun integrasi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
dan Makna Integrasi Nasional
Integrasi
nasional mempunyai dua pengertian dasar, yakni integrasi dan nasional. Integrasi
berasal dari kata Latin yakni integrate yang berarti memberi tempat
dalam suatu keseluruhan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, integrasi berarti
pembauran hingga menjadi kesatuan yang bulat dan utuh.
Kata Nasional
berasal dari kata nation (Inggris) yang berarti bangsa. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Integrasi nasional mempunyai arti sebagai berikut.
·
Secara politis, integrasi
berarti proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan
wilayah nasional yang membentuk suatu identitas nasional.
·
Secara
antropologis, integrasi berarti proses penyesuaian di antara unsur-unsur
kebudayaan yang berbeda sehingga mencapai suatu keserasian fungsi dalam
kehidupan masyarakat.
Howard Wriggins,
seorang ahli sosiologi, menyatakan bahwa pengertian nasional sudah mengandung
adanya integrasi bangsa. Artinya, pernyataan unsur-unsur yang berbeda-beda dari
suatu masyarakat menjadi kesatuan yang lebih utuh. Atau dengan kata lain, nasional
berarti berpadunya unsur-unsur masyarakat yang kecil dan banyak jumlahnya itu
menjadi satu kesatuan bangsa.

Integrasi= hasrat bersatu sebagai
satu kesatuan bangsa
Berangkat dari pengertian-pengertian di atas,
dapat kita simpulkan bahwa integrasi nasional bangsa indonesia adalah hasrat
dan kesadaran untuk bersatu sebagai satu bangsa yakni bangsa indonesia. Hasrat
dan kesadaraan untuk bersatu sebagai satu kesatuan bangsa itu resminya
direalisasikan dalam satu kesepakatan atau konsensus nasional melalui sumpah
pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku :
bertanah air satu, tanah air
indonesia.
berbangsa satu, bangsa Indonesia.
berbahasa satu, bahasa Indonesia.


Sumpah
pemuda sebagai konsensus awal dari integrasi nasional Indonesia
Kemauan untuk
bersatu itu disadari benar oleh para perintis kemerdekaan bangsa Indonesia, karena
mereka menyadari begitu heterogennya masyarakat dan budaya bngsa ini. Itulah
sebabnya bentuk negara sebagai salah satu perwujudan integrasi nasional adalah
negara kesatuan republik indonesia. Adapun perwujudan integrasi nasional
masyarakat dan budaya bangsa Indonesia yang heterogen itu diungkapkan dalam
semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda suku bangsa, agama,
budaya daerah, tetapi tetap satu bangsa. Istilah Bhineka Tunggal Ika pertama
kali diungkapkan oeh seorang empu yang terkenal di Kerajaan Majapahit, yaitu
Empu Tantular, dala kitabnya Sutasoma.


Bhineka
tunggal ika sebagai perwujudan dari integrasi bangsa Indonesia
Di Indonesia
istilah integrasi sering disamakan dengan istilah pembauran atau asimilasi,
padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan, integrasi diartikan dengan
integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan pluralism sosial. Sementara
pembauran atau asimilasi, dapat diartikan penyesuaian antar dua atau lebih
kebudayaan yang meliputi beberapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka
yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem
kebudayaan yang selaras (harmonis)
Dengan demikian
integrasi nasional dapat diartikan juga sebagai penyatuan bagian-bagian yang
berbeda dari suatu masyarakat menjadi suatu kesatuan yang lebih utuh, atau
memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu
bangsa (ICCE,2007). Masalah integrasi nasional di Indonesia sangatlah komplek
dan multidimensional. Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan serta kebijakan
yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama,
bahasa, gender dan sebagainya. Sebenarnya untuk membangun keadilan, kesatuan,
dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina
stabilitas politik disamping upaya lainnya, seperti banyaknya keterlibatan
pemerintah dalam menentukan komposisi dan mekanisme parlemen
Dengan demikian
upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu dilakukan terus agar
terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan. Upaya pembangunan dan
pembinaan integrasi nasional ini perlu, karena pada hakikatnya tidak lain
menunjukan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa yang diinginkan
(Mahfud, 1993). Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat
menjamin terwujudnya Negara yang makmur, aman, dan tentram. Jika melihat
konflik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan barat, dan Papua merupakan
cermin belum terwujudnya integrasi nasional yang diharapkan selama ini.
Jika pada masa
orde baru ancaman bagi integrasi nasional Indonesia cenderung dating dari
akumulasi kekecewaan daerah terhadp pusat, atau konflik yang bersifat vertical,
maka dewasa ini kekerasan dan konflik horizontal menjelma menjadi ancama serius
bagi integrasi nasional. Kuatnya tradisi dominasi kekuatan politik otoriter
sebagai pemaksa utama integrasi nasional menimbulkan kekhawatiran atas
kemampuan bangasa ini untuk mengelola perbedaan serta mengatasi konflik
internal.

Untuk keluar
dari berbagai permasalahan mengenai konflik dan integrasi nasional diteliti
sisi lain dari konflik, menurut Dahrendorf, bahwa konflik juga dilihat sebagai
mekanisme alamiah dalam konteks rekontruksi sosial untuk mencari keseimbangan
baru dalam masyarakat. oleh karena itu jika mengacu pada sisi tersebut, analisa
terhadap konflik kekerasan yang kini terjadi mengarah pada usur-unsur
disintegrasi seperti sedikitnya kepercayaan sosial dan ambruknya nilai-nilai
kemanusiaan.
Unsur disintegrasi
tersebut dapat dihilangkan dengan cara melakukan transformasi konflik, yaitu
menyalurkan energi positif kepada saluran-saluran alternatife yang akan
mengelola konflik tersebut guna mengatasi komplikasi antara konflik kekerasan,
politik identitas dan konsolidasi demokrasi. Diperlukan komitmen politik dari
para elit politik untuk memulai suatu proyek jangka panjang guna merumuskan
suatu strategi dan taktik proses nation building untuk membangun kultur
baru bangsa yang mengapresiasi perbedaan sebagai modal sosial juga
karakteristik bangsa.
Karakteristik
yang menjadi sifat dasar dari sebuah masyarakat majemuk menurut Van Den Berghe
yaitu sebagai berikut:
a. Terjadinya
segmentasi (pemisahan) ke dalam bentuk kelompok-kelompok;
b. Memiliki
struktur sosial yang terbagi-bagi dalam lembaga-lembaga.
c. Kurang
mengurangkan konsensus-konsesus (kesepakatan) diantara para anggota masyarakat.
d. Secara
relatif sering kali terjadi konflik diantara kelompok lain;
e. Secara
relatif integrasi sosial tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling
ketergantungan di dalam bidang ekonomi.
Sifat-sifat yang
demikian itulah maka Van Den Berghe menyantakan bahwa betapa masyarakat majemuk
tidak dapat di golongkan begitu saja ke dalam salah satu diantara dua jenis
masyarakat, sedangkan Emile Durkheim dengan mengunakan terminologinya yaitu
istilah solidaritas mekanik dan organik untuk menganalisis masyarakat
keseluruhannya (bukan organisasi-organisasi masyarakat).
Untuk lebih
memperjelas, kita lihat pandangan para penganut funsionalisme struktural didalam
melihat bagaimana suatu sistem sosial itu berintegrasi. Mengikuti pandangan
mereka, suatu sistem sosial senantiasa terintegrasi diatas landasan dua hal,
yaitu :
a.
Suatu masyarakat
senantiasa terintegrasi diatas tumbuhnya konsensus diantara sebagian besar
anggota masyarakat akan nilai-nilai kemasyarakatan yang bersifat fundamental;
b.
Suatu masyarakat
senantiasa terintegrasi juga oleh karena berbagai anggota masyarakat sekaligus
juga anggota dari berbagai kesatuan sosial.
B.
Gambaran
Integrasi Nasional di Indonesia
Manusia hidup
dalam reliatas yang plural, hal yang sama juga pada masyarakat Indonesia yang
majemuk (plural society). Corak masyarakat Indonesia adalah ber-Bhineka
Tungal Ika, bukan lagi keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, melainkan
keanekaragaman kebudayaan yang berada dalam masyarakat Indonesia. Dalam
masyarakat majemuk, seperti Indonesia dilihat memiliki suatu kebudayaan yang
berlaku secara umum dalam masyarakat.
Masyarakat yang
plural merupakan “belati” bermata ganda dimana pluralitas sebagai rahmat dan
sebagai kutukan. Pemahaman pluralitas sebagai rahmat adalah keberanian untuk
memerima perbedaan. Menerima perbedaan bukan hanya dengan kompetensi keterampilan,
melainkan lebih banyak terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas
kehidupan yang menyeluruh.
Sedangkan
pluralitas sebagai kutukan akan menimbulkan sikap penafian terhadap yang lain,
baik individu ataupun kelompok, karena dianggap berbeda dengan dirinya, dan
perbedaan dianggap menyimpang atau salah. Penafian terhadap yang lain, pada
hakekatnya adalah pemaksaan keseragaman dan menghilangkan keunikan jati diri
yang lain, baik individu atau komunitas.
Menurut Suparlan
yang mengutip dari Fay, Jary dan J. Jary
dalam acuan utama masyarakat yang multikultural adalah multikulturalisme, yakni
sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individu ataupun
secara kebudayaan.
Multikulturalisme
secara etimologis marak digunakan pada tahun 1950 di Kanada. Menurut longer
oxford directionary istilah “multiculturalme” merupakan deviasi kata
multikultural kamus ini meyetir dari surat kabar di Kanada, Montreal times
yang menggambarkan masyarakat Montreal sebagai masyarakat multikultural dan
multilingual.
Multikulturalisme
ternyata bukanlah pengertian yang mudah. Dimana mengandung dua pengertian yang
kompleks, nyaitu “multi” yang berarti plural dan “kulturalisme”
berisi tentang kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang
berjenis-jenis, karena pluralisme bukan sekedar pengakuan akan adanya hal yang
berjenis-jenis tetapi pengakuan tersebut memiliki implikasi politis, sosial,
ekonomi dan budaya. Dalam pengertian tentang multikulturalisme memiliki dua
ciri utama yakni :
1. kebutuhan terhadap pengakuan ( the need
of recognition).
2. legitimasi keanekaragaman budaya atau
pluralisme budaya.
Masyarakat yang
adil bukanlah hanya menjamin the greatest good for the greates number
yang terkenal dengan prinsip demokrasi. Filsafat Rawls menekankan arti pada
self interest dan aspirasi pengenal dari seseorang.
Manusia
dilahirkan tanpa mengetahui akan sifat-sifatnya, posisi sosialnya, dan
keyakinan moralnya, maka manusia tidak mengetahui posisi untuk memaksimalkan
kemampuannya. Maka Rawls mengemukakan dua prinsip yakni :
1. Setiap manusia harus memiliki maksimum
kebebasan individual
dibandingkan orang lain.
2. Setiap ketidaksamaan ekonomi haruslah
memberikan keuntungan
kemungkinan bagi yang tidak memperoleh
keberuntungan.
Menurutnya institusional yang menjamin kedua
prinsip tersebut adalah demokrasi konstitusional.
Azyumardi Azra mengatakan, bahwa konsep
kerangka masyarakat multikultural dan multi kulturalisme secara subtantif
tidaklah terlalu baru di Indonesia dikarenakan jejaknya dapat ditemukan di
Indonesia, dengan prinsip negara ber-Bhineka Tunggal Ika, yang mencerminkan
bahwa Indonesia adalah masyarakat multikultural tetapi masih terintregrasi
ke-ikaan dan persatuan.
Walaupun
multikulturalisme telah digunakan oleh para pendiri bangsa dalam rangka mendesain
kebudayaan bangsa Indonesia, tetapi bagi orang
Indonesia multikulturalisme adalah konsep yang asing. Konsep
multikulturalisme tidaklah sama dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa
atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena konsep
multikulturalisme menekankan keanekaragaman dan kesederajatan.
Multikulturalisme harus mau mengulas berbagai permasalahan yang mengandung
ideologi, politik, demokrasi, penegakan hukum, keadialan, kesempatan kerja dan
berusaha, HAM, hak budaya komuniti golongan minoritas, prinsip-prinsip etika
dan moral dan peningkatan mutu produktivitas.
Multikulturalisme
bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan
karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan
hidup masyarakat. multikulturalisme sebagai ideologi tidaklah berdiri sendiri
terpisah dari ideologi-ideologi lainnya. Multikulturalisme memerlukan konsep
bangunan untuk dijadikan acuan guna memahami mengembangluaskannya dalam
kehidupan bermasyarakat. Dalam memahami multiklturalisme, diperlukan landasan
pengetahuan berupa konsep-konsep yang relevan
dan mendukung serta keberadaan berfungsinya multikulturalisme dalam
kehidupan.
Akar dari
multikulturalisme adalah kebudayaan. Kebudayaan yang dimasudkan disini adalah konsep
kebudayaan yang tidak terjadi pertentangan oleh para ahli, dikarenakan
multikulturalisme merupakan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat
manusia dan kemanusiaannya. Oleh karena itu kebudayaan harus dilihat dari
perfektif fungsinya bagi manusia.
C.
Faktor
Pendorong Terjadinya Integrasi
Adapun faktor-faktor pendorong
integrasi nasional sebagai berikut
a. Faktor
sejarah yang menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
b. Keinginan
untuk bersatu di kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah
Pemuda tanggal 28 Oktober 1928.
c. Rasa
cinta tanah air di kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan
merebut, menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
d. Rasa
rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh
banyak pahlawan bangsa yang gugur di medan perjuangan.
e. Kesepakatan
atau konsensus nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan
UUD 1945, bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan
bahasa Indonesia.
f. Adanya
simbol kenegaraan dalam bentuk Garuda Pancasila, dengan semboyan Bhinneka
Tunggal Ika.
g. Pengembangan
budaya gotong royong yang merupakan cirri khas kepribadian bangsa Indonesia
secara turun temurun.
D.
Faktor
Penghambat Integrasi
Adapun
faktor-faktor penghambat integrasi nasional sebagai berikut:
1. Masyarakat
Indonesia yang heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan
dengan masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut,
ras dan sebagainya.
2. Wilayah
negara yang begitu luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh
lautan luas.
3. Besarnya
kemungkinan ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan,
kesatuan dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4. Masih
besarnya ketimpangan dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil
pembangunan menimbulkan berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah
SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan
kedaerahan, demonstrasi dan unjuk rasa.
5. Adanya
paham “etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan
kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
6. Lemahnya
nilai-nilai budaya bangsa akibat kuatnya pengaruh budaya asing yang tidak
sesuai dengan kepribadian bangsa, baik melewati kontak langsung maupun kontak
tidak langsung.
7. Kontak
langsung, antara lain melalui unsur-unsur pariwisata, sedangkan kontak tidak
langsung, antara lain melalui media cetak (majalah, tabloid), atau media
elektronik (televisi, radio, film, internet, telepon seluler yang mempunyai
fitur atau fasilitas lengkap).
E. Problematika dan Solusi dalam Integrasi Nasional
1. Problematika
Masalah
integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multidimensional.
Disintegrasi bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal dan horizontal
sebagai akibat tuntutan demokrasi yang melampaui batas, konflik antara elite
politik, lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta
kesiapan pelaksanaan Otonomi Daerah.
Problematika
dalam integrasi nasional dapat dilihat dari berbagai aspek sebagai berikut :
a) Geografi.
Letak Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau dan kepulauan memiliki
karakteristik yang berbeda-beda. Daerah yang berpotensi untuk memisahkan diri
adalah daerah yang paling jauh dari ibu kota, atau daerah yang besar
pengaruhnya dari negara tetangga atau daerah perbatasan, daerah yang mempunyai
pengaruh global yang besar, seperti daerah wisata, atau daerah yang memiliki
kakayaan alam yang berlimpah.
b) Demografi.
Pengaruh (perlakuan) pemerintah pusat dan pemerataan atau penyebaran penduduk
yang tidak merata merupakan faktor dari terjadinya disintegrasi bangsa, selain
masih rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan SDM.
c) Kekayaan
Alam. Kekayaan alam Indonesia yang sangat beragam dan berlimpah dan penyebarannya
yang tidak merata dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya disintegrasi bangsa,
karena hal ini meliputi hal-hal seperti pengelolaan, pembagian hasil, pembinaan
apabila terjadi kerusakan akibat dari pengelolaan.
d) Ideologi.
Akhir-akhir ini agama sering dijadikan pokok masalah didalam terjadinya konflik
di negara ini, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman terhadap agama
yang dianut dan agama lain. Apabila kondisi ini tidak ditangani dengan
bijaksana pada akhirnya dapat menimbulkan terjadinya kemungkinan disintegrasi
bangsa, oleh sebab itu perlu adanya penanganan khusus dari para tokoh agama
mengenai pendalaman masalah agama dan komunikasi antar pimpinan umat beragama
secara berkesinambungan.
e) Politik.
Masalah politik merupakan aspek yang paling mudah untuk menyulut berbagai
ketidak nyamanan atau ketidak tenangan dalam bermasyarakat dan sering
mengakibatkan konflik antar masyarakat yang berbeda faham apabila tidak ditangani
dengan bijaksana akan menyebabkan konflik sosial di dalam masyarakat. Selain
itu ketidak sesuaian kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan
pada pemerintah daerah juga sering menimbulkan perbedaan kepentingan yang
akhirnya timbul konflik sosial karena dirasa ada ketidak adilan didalam
pengelolaan dan pembagian hasil atau hal-hal lain seperti perasaan pemerintah
daerah yang sudah mampu mandiri dan tidak lagi membutuhkan bantuan dari
pemerintah pusat, konflik antar partai, kabinet koalisi yang melemahkan
ketahanan nasional dan kondisi yang tidak pasti dan tidak adil akibat ketidak
pastian hukum.
f) Ekonomi.
Krisis ekonomi yang berkepanjangan semakin menyebabkan sebagian besar penduduk
hidup dalam taraf kemiskinan. Kesenjangan sosial masyarakat Indonesia yang
semakin lebar antara masyarakat kaya dengan masyarakat miskin dan adanya
indikasi untuk mendapatkan kekayaan dengan tidak wajar yaitu melalui KKN.
g) Sosial
Budaya. Pluralitas kondisi sosial budaya bangsa Indonesia merupakan sumber
konflik apabila tidak ditangani dengan bijaksana. Tata nilai yang berlaku di daerah yang satu
tidak selalu sama dengan daerah yang lain. Konflik tata nilai yang sering
terjadi saat ini yakni konflik antara kelompok yang keras dan lebih modern
dengan kelompok yang relatif terbelakang.
h) Pertahanan
Keamanan. Bentuk ancaman terhadap kedaulatan negara yang terjadi saat ini
menjadi bersifat multi dimensional yang berasal dari dalam negeri maupun dari
luar negeri, hal ini seiring dengan perkembangan kemajuan
ilmu pengetahuan dan
teknologi, informasi dan
komunikasi. Serta sarana dan prasarana pendukung didalam pengamanan bentuk
ancaman yang bersifat multi dimensional yang bersumber dari permasalahan
ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya.
2. Solusi
Untuk mewujudkan
integrasi nasional diperlukan keadilan kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, gender, dan
sebagainya. Sebenarnya upaya membangun keadilan, kesatuan, dan persatuan bangsa
merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik disamping
upaya lain seperti banyaknya keterlibatan pemerintah dalam menentukan komposisi
dan mekanisme parlemen.
Adapun kebijakan
yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai
berikut :
a) Menanamkan
nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar
tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b) Menghilangkan
kesempatan untuk berkembangnya tindakan KKN.
c) Meningkatkan
ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecahbelahan dari ancaman luar.
d) Penyebaran
dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila,
dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
e) Menumpas
setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
f) Membentuk
satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam
memerangi separatis.
F.
Upaya
yang Dilakukan dalam Membangun Integrasi
Menurut Liddle, suatu integrasi
nasional yang tangguh dapat
berkembang apabila :
1. Sebagian
besar anggota masyarakat suatu bangsa bersepakat tentang batas-batas teritorial
dari Negara sebagai suatu kehidupan politik dimana mereka menjadi warganya
2. Sebagian
anggota masyarakat suatu bangsa bersepakat mengenai struktur pemerintahan serta
aturan-aturan dari pada proses politik yang berlaku bagi seluruh masyarakat
diatas wilayah Negara.
Dengan perkataan lain, suatu
integrasi nasional yang tangguh
akan berkembang diatas konsesus
nasional mengenai batas-batas suatu masyarakat tersebut serta harus memilik
1. Kesadaran
dari sejumlah orang bahwa mereka bersama-sama merupakan arga dari suatu bangsa.
2. Konsensus
nasional mengenai bagaimana suatu kehidupan bersama sebagai bangsaharus
diwujudkan atau diselenggarakan.
Konsesus
nasional mengenai bagaimana kehidupan bangsa harus diwujudkan atau
diselenggarakan harus ditemukan dalam proses pertumbuhan Pancasila sebagai
dasar Falsafah atau idiologi Negara. Secara yuridis formal, pancaila sebagai
dasar falsafah Negara, pada tingkat yang sangat umum telah diterima sebagai
kesepakatan nasional serta lahir bersamaan dengan kelahiran Negara Republik
Indonesia sebagai Negara yang merdeka, bebas dari penjajahan bangsa lain. Di
dalam kenyataan, pancasila menjadi akar dala sejarah pertumbuhan gerakan
nasionalisme.
Bangsa Indonesia
sebetulnya dapat belajar dari pengalaman Negara-negara lain dan dari Negara
kita sendiri tentang akibat menguatnya primordialisme, sehingga keberadaan dan
peguatan lembaga-lembaga integrative seperti sistem pendidikan nasional,
birokrasi spil dan militer, partai-partai politik (idiologi nasionalisme yang
dapat menjembatani perbedaan etnik yang tajam, sedangkan partai etnik tidak
berhasil) harus tetap dilaksanakan mengingat bahwa hal ini adalah sebagai
konsensus dari masyarakat kita yang majemuk.
Perlunya lembaga-lembaga
pemersatu melalui state building. Adapun uraian secara singkat tentang
lembaga pemersatu yang dimaksud tersebut adalah sebagai berikut :
1. Birokrasi
Sipil dan militer
Lembaga integratif yang paling dominan
dan paling penting yang mutlak diperlukan adalah kekuatan militer (TNI), yang
jika diperlukan dapat memakai penguasaan dan monopolinya atas peralatan perang
dan peraltan utama system pesenjataan untuk mempertahankan dan bahkan untuk
membangun negar danbangsa. Dalam kerangka pemikran tradisional bahkan gejala
universal kaum militer di dunia, peranan militer sebagai benteng terakhir (mean
of the last reort) mempertahankan kebutuhan Negara dan bangsa. Hal ini
dapat dari sikap keras militer terhadap gerakan-gerakan separatis maupun
kedaerahan (primordialisme)
Selain
birokrasi militer, proses state building juga mencakup birokrasi
sipil yang mempunyai tugas utama menarik pajak dan menyediakan bahan pokok
khususnya bahan makanan untuk masyarakat, dalam pelaksanaanya birokrasi sipil
dal militer saling berhubungan. Sebagai bangsa Indonesia kita mestinya bangga
dengan TNI, karena apa? ternyata Indonesia memperoleh peringkat yang luar biasa
dalam bidang kemiliteran. Jadi sebenarnya tidak beralasan kalau kita meremehkan
tentara nasional kita. Menurut data yang diambil oleh World Military Strengh
Ranking. Militer Indonesia berada pada posisi ke-14 dari seluruh negara di
dunia ini, di atas negara-negara maju lainnya seperti Kanada, Australia, dsb.
Kembali kepada
sejarah militer Indonesia, pengambilan alih kekuasaan oleh pihak militer di
Indonesia sekiranya sudah lama diramalkan. Militer Indonesia tidak pernah jauh
dari politik, sejak dari kemerdekaan pada tahun 1945. Organisasi nasional
militer pun diperlukan untuk tugas yang maha penting yakni membangun suatu
negara bangsa dari beribu-ribu pulau yang membentuk negeri ini.
Pada masa itu
terjadi kompetisi politik antara Militer dan Partai Komunis Indonesia yang
kadang kala bersifat keras, Komunis yang dalam hal ini sejak kemerdekaan ada
dalam naungan Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno bersaing ketat dengan
golongan elit militer. Dan puncaknya adalah terjadinya pemberontakan G30S/PKI.
Sampai munculnya Supersemar pada
tanggal 11 Maret 1966, Soekarno dengan ikhlas memberi Jenderal Soeharto
wewenang yang diperlukan untuk memulihkan keamanan. Soekarno yang pada saat itu
dianggap sebagai presiden seumur hidup kini nyaris hanya merupakan lambang,
sampai secara resmi digantikan oleh Jenderal Soeharto pada tanggal 27 Maret
1968.
Setelah menjadi
Presiden, Soeharto memandang tugasnya adalah : memulihkan tingkat partisipasi
rakyat dalam pemerintahan, menstabilkan negeri yang secara politis terpecah
belah, dan membangun perekonomian yang telah diabaikan. Maka untuk mendukung
upaya tersebut Soeharto memutuskan untuk membentuk GOLKAR (Golongan Karya) atau
kelompok yang fungsional, mencakup buruh, petani, birokrat sipil, birokrat
militer, mahasiswa, dan intelegensia. Jika Soekarno ingin mengusahakan agar
kelompok-kelompok fungsional tersebut terlepas dari militer, maka Soeharto
lebih suka mengintergrasikan kedua badan tersebut, dalam kata lain Soeharto
telah menyertakan militer dalam politik sembari memberi fungsi politik pada
militer.
Sejak tahun
1959, menurut suatu penelitian, perwira-perwira angkatan darat secara kasar
telah memegang seperempat dari semua portofolio kabinet maupun berbagai posisi
penting pada departemen pemerintahan sipil. Pada tahun 1972, 22 dari 26
Gubernur adalah bekas perwira militer, demikian juga 67% dari bupati dan camat,
dan 40% dari kepala desa.
Masuk ke Era
Reformasi, setelah lengsernya Soeharto, maka kedigdayaan Militer dalam hal ini
ABRI/TNI telah usai, Sejak itu nyaris tiada hari tanpa hujatan dan caci maki
terhadap ABRI. Jika sebelumnya tidak ada yang berani mengusik, sejak itu
keberadaan ABRI mulai banyak dipersoalkan. ABRI bukan cuma dipersalahkan, karena
telah membuat banyak orang di Aceh, Lampung, Tanjung Priok, Irian Jaya, Timor
Timur, kehilangan anggota keluarganya, tetapi juga karena terlibat penculikan
para mahasiswa dan aktivis politik, karena dianggap tidak mampu lagi mengatasi
kerusuhan di berbagai tempat yang telah menelan korban ratusan nyawa sejak Mei
1998.
Saat ini ABRI harus menghadapi
kenyataan sebaliknya yakni penolakan atas keterlibatannya. Secara historis
keterlibatan ABRI tersebut harus dipahami dalam kerangka menjamin stabilitas
nasional. Kalau mau jujur, sebenarnya bangsa dan negara manapun di dunia ini
membutuhkan stabilitas demi pembangunan dan kemajuan bersama rakyatnya.
Menurut Jenderal
Wiranto, ada tiga perkembangan ekstrem yang harus dicegah dalah hubungan sipil
militer di Indonesia, yaitu: pertama, military overreach, yaitu militer
menguasai berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti pada masa orde baru; yang
kedua, subjective civilian control, yaitu kontrol subyektif pemerintahan sipil
terhadap militer seperti yang terjadi pada masa Demokrasi Terpimpin dan
Demokrasi Parlementer; ketiga, pemisahan rakyat dari ABRI.
Dalam
pengarahannya kepada peserta Lokakarya Kepemimpinan Pertahanan 2010 di Istana
Negara, Jakarta, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, tidak perlu lagi
ada jarak antara militer dan non militer pada era demokrasi. Beliau juga
menyatakan saat ini tidak perlu lagi ada dikotomi antara sipil dan militer
dalam mengemban tugas untuk negara. "Dulu pernah ada jarak antara militer
dan nonmiliter, antara mahasiswa di perguruan tinggi dan taruna di akademi.
Tapi dengan era demokrasi ini dengan perubahan di TNI tidak lagi menjalankan
politik praktis maka sudah tidak ada perbedaan," tutur Presiden.
Lalu, apakah
artinya dalam konteks hubungan sipil-militer di Indonesia? Dalam sejarah
Indonesia, dikotomi sipil-militer bukanlah satu isu baru. Jika sejauh ini ABRI
terkesan tidak suka dan selalu mengelak adanya dikotomi sipil-militer di
Indonesia, sikap semacam itu tidak lepas dari penafsiran diri ABRI dalam
konteks sejarah Indonesia. ABRI juga mudah curiga kepada cendekiawan, seniman,
aktivis LSM dan kalangan intelektual lain yang memang selalu sangat antusias
memperbincangkan hubungan sipil-militer, yang selalu melemparkan isu-isu
demokratisasi, kebebasan berpendapat dan HAM.
Namun, benar
juga bahwa hal ini lalu membuat penafsiran terhadap batas-batas antara ranah
politik dan perang, antara tugas-tugas sipil dan militer, makin tidak jelas.
Antara perang dan politik ibarat dua sisi pada sekeping mata uang. Perang
adalah jalan lain dari politik. Ini lah yang terjadi pada awal pembentukan
Indonesia.
Sejak awal
kelahirannya ABRI tidak pernah mempersoalkan presiden dari kalangan sipil dan
tidak mendesakkan tampilnya pimpinan nasional dari kalangan militer. Dalam
sejarahnya Panglima Besar Soedirman memberikan keteladanan dalam membentuk
sikap TNI yang mengakui pemerintahan di tangan sipil. Untuk itu dibuktikan oleh
Panglima Besar Soedirman ketika kembali ke Yogyakarta dari medan perjuangan
bergerilya, TNI tetap mengakui kekuasaan tertinggi berada di tangan Presiden
Soekarno.
Satu hal yang
perlu kita (baik militer maupun sipil) refleksikan bahwa militer Indonesia telah berkembang
menjadi militer profesional. Dunia kemiliteran telah berkembang menjadi dunia
profesional, yang bekerja dan mengembangkan solidaritas tidak hanya atas dasar
"semangat patriotisme" tapi atas dasar penguasaan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta ketrampilan khusus (profesi) yang terkait dengan
kependidikan.
Tanggung
jawabnya terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia, dengan demikian, bisa
ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Kalau dulu tanggung jawab ini
ditafsirkan secara politis-ideologis, kini perlu dimaknai sebagai tanggung
jawab profesional. Kalau dulu ABRI di identifikasi dan dikenal sebagai tentara
rakyat kini harus tampil sebagai militer profesional (TNI adalah tentara
professional yang mengabdi kepada rakyat).
Namun, hal ini
tidak berarti militer kehilangan peran politiknya. Peran politik TNI, menurut
saya, tidak boleh melebihi fungsi dasarnya yaitu pertahanan-keamanan negara,
dan hal itu kini bisa ditafsirkan sebagai tanggung jawab profesi. Peran
tersebut cukup diletakkan pada tataran "kebijakan" (policy) di
tingkat pusat, dan tidak perlu diterjemahkan lebih jauh dengan konsep kekaryaan
seperti pada masa Orde Baru. Dengan demikian, militer bukan lah institusi untuk
merintis karier politik dan meraih insentif ekonomi melalui model kekaryaan.
Jika ada militer yang ingin menjadi bupati, gubernur, menteri bahkan presiden,
maka harus melepas jaket hijau-lorengnya.
Mereka adalah
warga sipil, sehingga jabatan politik yang didudukinya bukan dalam kerangka
doktrin dwifungsi, tapi sebagai hak politik setiap warga negara. Fungsi
pertahanan keamanan sebagai TNI professional itu juga menuntut TNI untuk hanya
punya komitmen dan tangung jawab moral terhadap eksistensi Negara Kesatuan RI.
Konsekuensi moral professional dari komitmen dan tanggung jawab moral ini
adalah bahwa TNI hanya mempunyai loyalitas kepada Negara dan bukan kepada
pemerintah. Loyalitas TNI kepada pemerintah hanya sejauh pemerintah yang
berkuasa. Tidak perduli sipil atau militer, menjalankan kekuasaan negara sesuai
dengan tuntutan dan cita-cita moral bangsa, yaitu demi menjamin kehidupan
bersama yang demokratis, adil, makmur, berprikemanusiaan dan menjamin hak asasi
manusia.
Maka tidak perlu
dibicarakan lagi adanya civilian supremacy yang dianut dunia Barat, karena
adanya supremasi satu golongan terhadap golongan lain tidak sesuai dengan
pandangan Panca Sila dan dapat menjadi benih konflik. Namun secara
organisatoris dengan sendirinya setiap unsur negara harus menjalankan keputusan
dan perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah RI. Maka tanpa ada ketentuan
supremasi sipil dengan sendirinya TNI harus tunduk kepada segala kepatuhan dan
perintah yang dikeluarkan oleh Pemerintah, siapapun yang duduk dalam pemerintah
itu. Sebaliknya, sesuai dengan jati dirinya TNI wajib dan berhak menyampaikan
pendiriannya kepada Pemerintah sekalipun mungkin pendirian itu berbeda dari
pandangan Pemerintah. Dalam mengembangkan pendirian itu TNI harus selalu
berpedoman pada Panca Sila dan Sapta Marga serta Sumpah Prajurit yang secara
hakiki berarti bahwa TNI harus selalu memperhatikan berbagai aspirasi yang berkembang
dalam masyarakat.
Yang sekarang
diperlukan adalah tekad untuk melaksanakan proses ini secara konsisten dan
sabar serta memelihara hasilnya secara terus menerus. Hubungan Sipil-militer
yang dihasilkan kemudian akan merupakan faktor positif dalam perwujudan
Ketahanan nasional Indonesia, termasuk pembinaan daya saing nasional bangsa
kita.
2. Partai
Politik
Dalam sejarahnya
Partai Politik merupakan alat mobilisasi vertikal yang lebih cepat dibandingkan
dengan birokrasi nasional baik birokrasi sipil maupun militer.
Sistem Pemilu di
Indonesia sekarang merupakan gabungan dari system distrik dan system
proposional, sehingga perwakilan daerah dan etnik dapat tewakili. Maka partai
politik mampu menjadi alat integrasi bangsa untuk menekan perlawan etnik yang
minoritas.
3. Sistem
Pendidikan Nasional
Sistem
pendidikan nasional menjadi alat integrasi nasional terutama karena sifatnya
yang menciptakan elite nasionalyang kohesif. Pendidikan nasional mulai dari SD
sampai Perguruan Tinggi menjadi alat pemersatu baik melalui kurikulum nasional,
bahasa pengantar maupun sistem rekrutmen siswa, mahasiswa maupun tenaga
pengajar yang bersifat nasional. Dalam suasana otonomi daerah sekarang ini
diusahakan adanya ujian lokal tetapi yang berstandar nasional. Demikian juga
walaupun ad aide untuk menambah muatan kurikulum local/kedaerahan, namun tetap
kurikulum inti mengajarkan ilmu social dan humaniora yang besifat integratif
dan nasional.
Sifat
integratif lainnya adalah pemakaian bahasa pengantar yakni bahasa Indonesia
sebagai bahasa nasional disamping penggunaan bahasa lokal/daerah yang diberlakukan
untuk pendidikan tingkat SD/SLTP. Cara ini akan memudahkan integrasi ke dalam sistem
nasional dan sosialisasi yang sama untuk seluruh warga negara.
Alat integrasi
yang lain adalah rekrutmen siswa, siswa, dan tenaga pengajar yang bersifat
nasional dan multi etnik, sehingga terjadi proses komunikasi sosialisasi,
asimilasi dan kulturasi dari berbagai etnik di kalangan siswa, mahasiswa, dan
tenaga pengajar.
4. Kemajuan
Komunikasi dan Transportasi
Peranan media
masa nasional seperti koran, majalah, televisi (TVRI), pesawat radio (RRI)
cukup penting di Indonesia yang dapat digunakan sebagai alat integrasi
nasional. Bahkan sekarang ini banyak koran maupun media masa lainnya yang
terbit di Jakarta tetapi penyebarannya menjangkau sampai ke seluruh
kabupaten-kabupaten, begitu juga koran lokal yang mampu menembus pasar ke
daerah lainnya. Alat komunikasi lainnya dalah telepon, yang mengalam
perkembangan pesat sejak pemerintahan orde baru sampai sekarang.
Perkembangan
yang cepat dalam bidang transportasi mengakibatkan terjadinya mobilitas
geografis penduduk yang cepat, aman, nyaman, dan murah. Bentuk mobilitas
penduduk dapat secara transmigrasi, migrasi maupun turisme baik antar daerah,
nasional, regional bahkan global. Meningkatnya kegiatan mobilitas penduduk dan
turisme nasional maupun lokal membawa dampak memperkuat rasa kesatuan dan
kebangsaan.
BAB
III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
1. Integrasi
nasional bangsa indonesia adalah hasrat dan kesadaran untuk bersatu sebagai
satu bangsa yakni bangsa Indonesia, baik dari segi sosial, budaya, maupun
agama.
2. Pemahaman
pluralitas sebagai rahmat adalah keberanian untuk memerima perbedaan. Menerima
perbedaan bukan hanya dengan kompetensi keterampilan, melainkan lebih banyak
terkait dengan persepsi dan sikap sesuai dengan realitas kehidupan yang
menyeluruh.
3. Multikulturalisme
bukanlah sebuah wacana, melainkan sebuah ideologi yang harus diperjuangkan
karena dibutuhkan sebagai etika tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan
hidup masyarakat Indonesia.
4. Disintegrasi
bangsa dapat terjadi karena adanya konflik vertikal dan horizontal sebagai
akibat tuntutan demokrasi yang melampaui batas, konflik antara elite politik,
lambatnya pemulihan ekonomi, lemahnya penegakan hukum dan HAM serta kesiapan
pelaksanaan Otonomi Daerah.
5. Untuk
mewujudkan integrasi nasional diperlukan keadilan kebijakan yang diterapkan
oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, gender, dan
sebagainya.
6. Upaya
membangun integrasi dengan adanya kesadaran dari setiap masyarakat serta perlunya
kesadaran dari setiap masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai warga Negara
juga perlu adanya lembaga-lembaga pemersatu bangsa melalui state building.
B. Saran
1. Dengan
kajian ini diharapkan bagi masyarakat khususnya mahasiswa dapat memahami
integrasi nasional dan mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat.
2. Perlu
adanya diskusi dan pembahasan lebih lanjut agar informasi yang lebih lengkap
dan konfrehensif bagi pengembangan ilmu pengetahuan.
DAFTAR
PUSTAKA
http://buletinlitbang@dephan.go.id /18-11-2011/19:30
Posted by Natali: http://pendididi.blogspot.com/2013/10/pengertian-integrasi-nasional.html
[3]
http://kumankutu.blogspot.com/2011/05/faktor-faktor-pendorong-dan-penghambat.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar